ILALANG EMBAYYA BIARLAH BERBEDA; MENGAKUI HAK-HAK KULTURAL KOMUNITAS LOKAL TANAH TOA KAJANG DALAM BINGKAI MULTIKULTURALISME
Abstract
Komunitas Tanah Toa Kajang adalah salah satu komunitas dengan praktik-praktik kebudayaan ambivalen dan hybrid. Mereka mengikuti sistem pemerintahan negara, tetapi di saat yang sama, juga memiliki sistem adat. Mereka memeluk Islam, tetapi dalam praktiknya masih menunjukkan adanya jejak-jejak kepercayaan Patuntung. Selama ini, negara, agamawan, dan modernitas telah berupaya untuk mengubah praktik-praktik tersebut dengan berbagai program, tetapi rupanya praktik ambivalensi ini, tetap saja terjadi. Sebab, dengan cara itulah komunitas ini berupaya untuk tetap mempertahankan tradisi dan nilai yang diyakininya paling berguna untuk kehidupan mereka. Tulisan ini, selain akan menggambarkan praktik ambivalensi tersebut, juga berupaya mengeksplorasi berbagai kebijakan terhadap Tanah Toa Kajang dalam beberapa tahun terakhir ini? Selanjutnya, tulisan ini bertujuan untuk memberikan satu formula, bagaimana seharusnya negara memberikan pengakuan hak-hak minoritas kultural masyarakat Tanah Toa Kajang melalui pendekatan multikulturalisme. Melalui penelitian terakhir dengan metode kualitatif terhadap Komunitas Tanah Toa terlihat, bahwa sesungguhnya dalam beberapa hal telah ada perubahan-perubahan kebijakan. Negara tidak lagi berupaya memberi tekanan pada komunitas ini untuk mengubah cara hidupnya. Sebaliknya, negara mulai memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak kultural masyarakat adat. Hanya saja, pengakuan-pengakuan itu baru pada aspek tertentu, misalnya, pada pengelolaan hutan. Dalam beberapa hal, perlindungan tersebut malah terkesan menjadikan Tanah Toa kajang sebagai “Cagar Budaya.”
References
Baso, Ahmad. 2016, Islam Pasca-Kolonial. Tangerang Selatan: Pustaka Afid
Bhabba, Homi K. 1994, The Location of Culture. London & New York: Routledge
Claude, Inis. 1955, National Minorities: An International Problem. London: Harvard University
Dworkin, Ronald. 1985, A Matter of Principle. London: Harvard University Press
Gellner, Ernest. 1995, Membangun Masyarakat Civil: Prasyarat Menuju Kebebasan. Bandung: Mizan
Glazer, Nathan. 1983, Ethnic Dilemma: 1964-1982. London: Harvard University Press.
Griffiths, John, “What is Legal Pluralism”, dalam Journal of Legal Pluralism and Unofficial Law No. 24/1986. pp.1-56
Hardiman, Budi. 2002, “Belajar dari Politik Multikulturalisme.” Pengantar dalam Kymlicka, Kewargaan Multikultural (terj. Edlina Hafmini). Jakarta: Pustaka LP3ES.
Nukhoiron, Mochammad. 2005, “Agama dan Kebudayaan: Menjelajahi Isu Minoritas dan Multikulturalisme di Indonesia.” Dalam, Hikmat Budiman (Ed), Hak Minoritas; Dilema Multikulturalisme di Indonesia. Jakarta: Interseksi.
K. Nesi, Felix. 2020, Orang-orang Oetimu. Serpong: Marjin Kiri
Kymlicka, Will. 2002. Kewargaan Multikultural (terj Edlina Hafmini). Jakarta: Pustaka LP3ES
____________. 1989, Liberalism, Community and Culture. Oxford: Oxford University Press.
Robet, Robertus & Tobi. 2014, Pengantar Sosiologi Kewarganegaraan: Dari Marx Sampai Agamben. Tangerang Selatan: Margin Kiri.
Suaedi, Ahmad. 2018, Gus Dur, Islam Nusantara dan Kewarganegaraan Bineka. Jakarta: Gramedia.
Syamsurijal. 2007, Akhirnya Perkawinan Adat itu Diakui, (www.tankinaya. net.id, 2007 ).
_________. 2014, “Islam Patuntung; Temu Tengkar Islam dan Tradisi Lokal di Tanah Toa
Kajang.” Jurnal al-Qalam. Vol-20, No.2, h. 171-178.
Parekh, Bhikhu. 2000, Rethinking Multiculturalism: Cultural Diversity and Political Theory. London: Macmilan.