KHAIDIR SANGNGAJI: KISAH INSPIRATIF ULAMA DIFABEL

Abstract

Stigma negatif difabel tak urung menyebabkan mereka menjadi terpinggirkan, walaupun kadang “cacat” yang disandangnya itu, tidak memengaruhi dirinya berkarya. Namun, bagaimana jika dia seorang ulama? Ulama menempati posisi terhormat pada masyarakat Indonesia. Apakah kemudian masyarakat memperlakukan ulama difabel secara berbeda? Bagaimana dengan Khaidir Sangngaji? Tulisan ini akan mengurai persepsi masyarakat tentang Khaidir Sangngaji, dan bagaimana dia mengalami dan mengatasi stigma tersebut, yang pada akhirnya membuat dia menemukan “cinta sejatinya.” Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan interdisipliner: sejarah, antropologi, dan sosiologi. Penelitian ini menemukan, sebagai seorang ulama-difabel, Khaidir Sangngaji mendapat tempat “spesial” di hati para santri dan masyarakat Luwu. Pengalaman dan kondisi cacatnya menjadi motivasi bagi para santri untuk giat belajar dan kelak berhasil seperti dirinya. Di dalam masyarakat, Khaidir Sangngaji sebagai ulama sangat dihormati. Dia juga diperhitungkan sebagai ulama yang ikut “memengaruhi” masyarakat/pemilih pada kampanye pemilihan kepala daerah di daerahnya. Namun, hal ini tampak berbeda dengan pandangan sebagian masyarakat, ketika Khaidir Sangngaji mencari calon istri. Kapasitasnya sebagai seorang ulama, ternyata tidak menjadi alasan dia mudah mendapatkan jodoh. Sebagian masyarakat menganggap, pencapaian dirinya sebagai ulama tidak menjamin keberhasilan dirinya berumah tangga. Menyandang disabilitas dianggap sebagai sesuatu yang sulit diterima.